Selasa

Suku Nias - Sumatera Utara


TUGAS ILMU BUDAYA DASAR












 SUKU NIAS
      SUMATERA UTARA     


DISUSUN OLEH :
ALDI GINANJAR ARDIANSAH



UNIVERSITAS GUNADARMA
ATA 2014-2015





Bab 1

1.1    Pendahuluan

         Nias terletak ± 85 mil laut dari Sibolga (daerah Provinsi Sumatera Utara). Nias merupakan daerah kepulauan yang memiliki pulau-pulau kecil sebanyak 27 buah. Banyaknya pulau-pulau kecil yang dihuni oleh penduduk adalah sebanyak 11 buah, dan yang tidak dihuni ada sebanyak 16 buah.Luas Pulau Nias adalah sebesar 3.495,40 km2 (4,88 % dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara), sejajar dan berada di sebelah barat Pulau Sumatera serta dikeliling oleh Samudera Hindia. Pulau ini terbagi atas empat kabupaten dan satu kota, Terdiri atas kabupaten Nias, Nias Selatan, Nias Utara, Nias Barat dan kotamadya Gunungsitoli.

          Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah). Suku Nias merupakan suku yang menempati Pulau Nias, Sumatera, Indonesia.  Suku Nias merupakan suku yang memiliki kebudayaan yang beraneka ragam dan unik.

            Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.

            Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.

            Pada jaman dahulu masyarakat Suku Nias mengenal 4 lapisan, yaitu :
1. Siulu (bangsawan)
            Lapisan Siulu dibedakan menjadi 2, yaitu balo ziulu (yang memerintah) dan siulu (bangsawan kebanyakan).
2. Ere (pemuka agama palebegu)
            Ono mbanua juga dibagi menjadi 2, yaitu siila (cerdik pandai dan pemuka rakyat) dan sato (rakyat kebanyakan).
3. Ono mbanus (rakyat jelata)
4. Sawuyu (budak)
            Sawuyu dibagi menjadi 3 bagian, yaitu binu (budak karena kalah perang/diculik), sondrara hare (budak karena tak dapat membayar hutang) dan holito (budak karena ditebus orang setelah dijatuhi hukuman mati).




Gambar 1 : Peta Pulau Nias


Bab 2

2.1       Sejarah / Asal-usul

      2.1.1     Asal – usul kehidupan suku Nias

            Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

            Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 Penelitian ini menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.Penelitian genetika terbaru menemukan, masyarakat Nias, Sumatera Utara, berasal dari rumpun bangsa Austronesia. Nenek moyang orang Nias diperkirakan datang dari Taiwan melalui jalur Filipina 4.000-5.000 tahun lalu.



Gambar 2 : Keluarga Suku Nias

2.2        Filosofi dari Suku Nias

           Dalam budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.


            Rumah adat di Nias tidak memiliki jendela. Sekelilingnya hanya diberi teralis kayu tanpa dinding sehingga setiap orang di luar rumah dapat mengetahui siapa yang berada di dalamnya. Desain ini menandakan orang Nias bersikap terbuka, jadi siapapun di desa dapat mengetahui acara-acara di dalam rumah, terutama yang berkaitan dengan adat dan masalah masyarakat setempat. Pemilik rumah bersama ketua adat duduk di bangku memanjang di atas lantai yang lebih tinggi disebut sanuhe sambil bersandar ke kayu-kayu teralis, sedangkan yang lainnya duduk di lantai lebih rendah atau disebut sanari.




Bab 3

3.1      Tradisi Kehidupan Suku Tradisional Nias

            Dulu Suku Nias sering berperang antarkampung. Biasanya pemicu perang adalah perebutan lahan atau bahkan merebut kampung orang lain.  Akhirnya untuk mempertahankan kekuasaan dan kampungnya dari serangan penduduk kampung lain, setiap Si’ulu berinisiatif mengumpulkan pemuda desa untuk dilatih perperang. Ada banyak tradisi suku tradisional nias diantaranya yang terkenal adalah adalah Fahombo (Lompat Batu) dan Fataele/Faluaya(Tari Perang). Fahombo, Hombo Batu atau dalam bahasa Indonesia "Lompat Batu" adalah olahraga tradisional Suku Nias.
            
            3.1.1         Lompat Batu (Fahombo)

      Olah raga yang sebelumnya merupakan ritual pendewasaan Suku Nias ini banyak dilakukan di Pulau Nias dan menjadi objek wisata tradisional unik yang teraneh hingga ke seluruh dunia.Mereka harus melompati susunan bangunan batu . Di masa lampau, pemuda Nias akan mencoba untuk melompati batu dan jika mereka berhasil mereka akaan menjadi lelaki dewasa dan dapat bergabung sebagai prajurit untuk berperang dan menikah. Sejak usia 10 tahun, anak lelaki di Pulau Nias akan bersiap untuk melakukan giliran "fahombo" mereka. Sebagai ritual, fahombo dianggap sangat serius dalam adat Nias. Anak lelaki akan melompati batu tersebut untuk mendapat status kedewasaan mereka, dengan mengenakan busana pejuang Nias, menandakan bahwa mereka telah siap bertempur dan memikul tanggung jawab laki-laki dewasa.

         Batu yang harus dilompati dalam fahombo berbentuk seperti sebuah monumen piramida dengan permukaan atas datar. Tingginya tidak kurang dari 2 meter, dengan lebar 90 cm, dan panjang 60 cm. Pelompat tidak hanya harus melompati tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki teknik untuk mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah, dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang. Di masa lampau, di atas papan batu bahkan ditutupi dengan paku dan bambu runcing, yang menunjukkan betapa seriusnya ritual ini di mata Suku Nias. Secara taktis dalam peperangan, tradisi fahombo ini juga berarti melatih prajurit muda untuk tangkas dan gesit dalam melompati dinding pertahanan musuh mereka, dengan obor di satu tangan dan pedang di malam hari. Jadi secara tidak langsung tradisi Lompat Batu ini terlahir dari konflik perang yang terjadi antar kampung.



Gambar 3 : Lompat Batu (Fahombo)

            3.1.2         Tari Perang (Fataelae/Faluaya)

      Tari Perang (Fataelae/Faluaya) lahir berbarengan dengan tradisi Homo Batu , dalam menarikan tarian ini, penari mengenakan pakaian warna warni terdiri dari warna hitam, kuning dan merah, dilengkapi dengan mahkota di kepala. Layaknya kesatria dalam peperangan penari juga membawa Tameng, pedang dan tombak sebagai alat pertahanan dari serangan musuh. Tameng yang digunakan terbuat dari kayu bebentuk seperti daun pisang berada di tangan kiri yang berfungsi untuk menangkis serangan musuh. Sedangkan pedang atau tombak berada di tangan kanan berfungsi untuk melawan serangan musuh. Kedua senjata ini merupakan senjata utama yang digunakan kesatria nias untuk berperang.

            Ketika dipertunjukkan prosesi tarian ini dipimpin seorang komando layakya prosesi dalam perang yang dipimpin oleh seorang panglima. Kemudian dia akan mengomando penari untuk membentuk formasi berjajar panjang yang terdiri dari empat jajar. Posisi komando berada di depan menghadap kearah penari. Tarian kemudian dimulai dengan gerakan kaki maju mudur sambil dihentakkan ke tanah dan menerikkan kata-kata pembangkit semangat. Makna gerakan ini adalah kesiapan pasukan untuk maju ke medan perang dengan penuh semangat kepahlawanan. Kemudian diikuti dengan formasi melingkar yang bertujuan untuk mengepung musuh, setelah musuh terkepung para kesatria akan dengan mudah untuk melumpuhkan mereka.


Gambar 4 : Tari Perang (Fataelae/Faluaya)

     3.2        Hubungan Sejarah dengan Filosofi Hidup Suku Tradisional Nias

            masyarakat Nias pada umumnya memiliki kesadaran akan adanya perubahan- perubahan dalam kehidupan baik itu menyangkut lingkungan alam, norma dan nilai sehinggadiperlukan seperangkat hukum yang juga adaktif. Konsep ini dimungkinkan berakar dari pemahaman strategi adaptasi yang dimiliki pada masa Mesolitik.
Keberadaan hukum yangdisertai dengan sangsi merupakan bentuk hukum yang cukup lengkap. Keberadaan organisasisosial yang berfungsi dalam kaitannya dengan pemerintahan dan adat sangat menunjang keberlangsungan sebuah masyarakat yang teratur. Keberadan konsep tersebut dalam konteks pembabakan budaya Neolitik  merupakan sesuatu yang sangat luar biasa.

             Kelebihan tersebut semakin mantap dengan adanya upaya untuk selalu memperbaharui hukum tersebut.Sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat Nias sudah sejak lama tertata dalam hukumsehingga sudah sangat teratur hidupnya.Kesadaran akan potensi lingkungan yang berbeda dengan harapannya tidak menyurutkanuntuk tetap berkarya dan meneruskan budayanya, seperti halnya ketiadaan logam yangdisikapi dengan bahan kayu pada  fo’ere sebagai sarana prosesi religi merupakan aspek kearifan yang juga sangat penting untuk disebarluaskan.Berbagai kearifan yang ada pada masyarakat Nias merupakan modal sosial yang sangat penting untuk ditanamkan pada seluruh masyarakat terutama pada generasi muda. Kearifanyang diungkapkan tersebut di atas merupakan hasil dari adaptasi masyarakat Nias terhadaplingkungan, manusia dan kebudayaan, sehingga dapat dikatakan bahwa karakter darimasyarakat Nias adalah adaptif. Karakter yang adaptif tersebut juga merupakan bentuk  jatidiri masyarakat Nias. beberapa kearifan tersebut sangat mungkin dapat disebarluaskan pada masyarakat umum (di luar masyarakat Nias) mengingat memiliki nilai-nilai yang bersifat universal..





Bab 4

4.1        Kesimpulan


            Suku Nias merupakan suku asli Indonesia yang sudah ada sejak jaman paleolitik. Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 Penelitian ini menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias . bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau .  Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Nias sudah ada sejak dahulu kala, bahkan sebelum indonesia di jajajh oleh belanda. Suku Nias adalah  kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah). Suku Nias merupakan suku yang menempati Pulau Nias, Sumatera, Indonesia.  Suku Nias merupakan suku yang memiliki kebudayaan yang beraneka ragam dan unik.

             Dalam budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama. Rumah adat di Nias tidak memiliki jendela. Sekelilingnya hanya diberi teralis kayu tanpa dinding sehingga setiap orang di luar rumah dapat mengetahui siapa yang berada di dalamnya. Hal ini menandakan masyarakat suku Nias bersikap terbuka.
Suku Nias juga memiliki banyak tradisi unik yang hanya bisa di lakukan oleh masyarakt Nias tertentu.
contohnya adalah tradisi Fahombo (lompat Batu) yang hanya bisa dilakukan oleh pemuda Nias yang telah dewasa.
            Kesimpulan utamanya adalah Indonesia memiliki banyak  keanekragaman suku contohnya adalah Suku Nias. Perbedaan ras termasuk ke dalam diferensasi sosial, sehingga tidak ada ras yang lebih tinggi kedudukannya di suatu tempat. Jadi, sudah sebaiknya tidak terjadi konflik sosial 



DAFTAR PUSTAKA

http://alvianhia.blogspot.in/2012_06_01_archive.html
(06/03/2015 (10.35))
http://blogsisiunik.blogspot.com/2013/05/makalah-suku-Nias.html
(02/04/2015(23.46))
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Nias
(02/04/2015(00.17))
https://m.facebook.com/notes/eka-periaman-zai-sh/makalah-budaya-Nias/497279146982412/
(02/04/2015(00.24))
http://sejarahnasionaldandunia.blogspot.com/2013/11/mata-pencaharian-kekerabatan-dan.html
(02/04/2015(00.38))


Rumah Adat Omo Hada dan Omo Sebua - Sumatera Utara



TUGAS ILMU BUDAYA DASAR







  
  


RUMAH ADAT OMO HADA DAN OMO SEBUA
NIAS
SUMATERA UTARA     


DISUSUN OLEH :
ALDI GINANJAR ARDIANSAH



UNIVERSITAS GUNADARMA
ATA 2014-2015





Bab 1


1.1                Pendahuluan

          Rumah Adat Tradisional Nias (Omo Hada dan Omo Sebua) merupakan simbol masyarakat Nias dari zaman dahulu, sebuah karya arsitektur yang unik dan bernilai tinggi, rumah adat tersebut  tidak menggunakan paku besi untuk menghubungkan masing-masing bagian di rumah adat tersebut, hanya menggunakan pasak kayu namun terbukti kokoh dan tahan gempa.. Rumah adat tersebut bertujuan untuk berlindungnya masyarakat Nias, karena konstruksi rumah yang unik akan menyulitkan musuh (baik binatang buas maupun musuh dari suku lain) menyerang sang pemilik rumah, biasanya pada sebuah kampung atau desa di Nias terdapat sekitar 20-30 rumah Omo Hada dan 1 rumah Omo Sebua sebagai rumah kepala suku, Omo Hada ini adalah bangunan yang memiliki nilai-nilai tradisi dan budaya yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakat di Pulau Nias, bahkan bangunan ini termasuk bangunan yang sangat dijaga keberadaannya oleh masyarakat Nias Selatan.



        Bab 2

 2.1    Tipologi Bangunan

        2.1.1     Pengklasifikasian Fungsi Ruangan dalam Bangunan Suku Tradisional Nias

      Omo Sebua merupakan rumah yang berfungsi sebagai kediaman seorang raja yang pernah berkuasa di dalam satu perkampungan di Pulau Nias. Omo Sebua ini termasuk salah satu bangunan yang tergolong elite di Pulau Nias. Jika Omo Sebua adalah rumah pemimpin maka Omo Hada adalah rumah tradisional masyarakat Nias.           

          Omo Hada ini dibangun dengan selisih satu abad dari bangunan Omo Sebua, tepatnya pada abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-19. Sehingga jika ditinjau dari segi historisnya, bangunan Omo Hada ini dibangun pada akhir zaman megalitik di Pulau Nias. Rumah yang berbentuk empat persegi panjang dan berdiri di atas tiang ini menyerupai bentuk perahu. Begitu pula pola perkampungan, hiasan-hiasan bahkan peti matinya pun berbentuk perahu. Dengan bentuk rumah seperti perahu ini diharapkan bila terjadi banjir maka rumah dapat berfungsi sebagai perahu.

       RumahNias bagian utara umumnya disangga oleh balok-balok kayu berbentuk letter X yang disebut diwa. Diwa menahan lantai rumah di bagian kolong, selain ada pula siloto yang berupa kayu panjang yang menempel di bagian bawah papan lantai rumah tersebut. Siloto langsung menahan lantai rumah, dan merupakan bagian kayu yang paling elastis. Ada juga gohomo, yaitu kayu-kayu yang tegak lurus menopang dan memagari seluruh kolong rumah sehingga Omo Hada semakin kokoh sekaligus elastis. Gohomo berada di bagian terluar pada kolong rumah, sedangkan siloto dan diwa berada di bagian dalamnya.. Untuk memasuki rumah adat ini terlebih dahulu menaiki tangga dengan anak tangga yang selalu ganjil 5 – 7 buah, kemudian memasuki pintu rumah yang ada dua macam yaitu seperti pintu rumah biasa dan pintu horizontal yang terletak di pintu rumah dengan daun pintu membuka ke atas. Pintu masuk seperti ini mempunyai maksud untuk menghormati pemilik rumah juga agar musuh sukar menyerang ke dalam rumah bila terjadi peperangan.

        Ruangan pertama adalah Tawalo yaitu berfungsi sebagai ruang tamu, tempat bermusyawarah, dan tempat tidur para jejaka. Seperti diketahui pada masyarakat Nias Selatan mengenal adanya perbedaan derajat atau kasta dikalangan penduduknya, yaitu golongan bangsawan atau si Ulu, golongan pemuka agama atau Ene, golongan rakyat biasa atau ono embanua dan golongan Sawaryo yaitu budak. Di bagian ruang Tawalo sebelah depan dilihat jendela terdapat lantai bertingkat 5 yaitu lantai untuk tempat duduk rakyat biasa, lantai ke 2 bule tempat duduk tamu, lantai ketiga dane-dane tempat duduk tamu agung, lantai keempat Salohate yaitu tempat sandaran tangan bagi tamu agung dan lantai ke 5 harefa yakni untuk menyimpan barang-barang tamu. Di belakang ruang Tawalo adalah ruang Forema yaitu ruang untuk keluarga dan tempat untuk menerima tamu wanita serta ruang makan tamu agung. Di ruang ini juga terdapat dapur dan disampingnya adalah ruang tidur.

      Rumah adat Nias biasanya diberi hiasan berupa ukiran-ukiran kayu yang sangat halus dan diukirkan pada balok-balok utuh. Seperti dalam ruangan Tawalo yang luas itu interinya dihiasi ukiran kera lambang kejantanan, ukiran perahu-perahu perang melambangkan kekasaran. Dahulu, di ruangan ini juga digantungkan tulang-tulang rahang babi yang berasal dari babi-babi yang dipotong pada waktu pesta adat dalam pembuatan rumah tersebut.
Menurut cerita, di ruangan ini dahulu digantungkan tengkorak kepala manusia yang dipancumg untuk tumbal pendirian rumah. Tapi setelah Belanda datang, kebiasaan tersebut disingkirkan. Untuk melengkapi ciri khas adat istiadat Nias adalah adanya batu loncat yang disebut zawo-zawo. Bangunan batu ini dibuat sedemikian rupa untuk upacara lompat batu bagi laki-laki yang telah dewasa dalam mencoba ketangkasannya.


                                                                                          Gambar 1 : Rumah Adat Omo Hada


                2.2      Filosofi dan Tradisi Kehidupan Suku Tradisional Nias

     2.2.1         Filosofi

         Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah). Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.

      2.2.2         Tradisi Kehidupan Suku Tradisional Nias

       Dulu Suku Nias sering berperang antar kampung. Biasanya pemicu perang adalah perebutan lahan atau bahkan merebut kampung orang lain.  Akhirnya untuk mempertahankan kekuasaan dan kampungnya dari serangan penduduk kampung lain, setiap Si’ulu berinisiatif mengumpulkan pemuda desa untuk dilatih perperang. Ada banyak tradisi suku tradisional nias diantaranya yang terkenal adalah adalah Fahombo (Lompat Batu) dan Fataele/Faluaya (Tari Perang). Fahombo, Hombo Batu atau dalam bahasa Indonesia "Lompat Batu" adalah olahraga tradisional Suku Nias.

                           2.2.2.1         Lompat Batu (Fahombo)

     Olah raga yang sebelumnya merupakan ritual pendewasaan Suku Nias ini banyak dilakukan di Pulau Nias dan menjadi objek wisata tradisional unik yang teraneh hingga ke seluruh dunia.Mereka harus melompati susunan bangunan batu . Di masa lampau, pemuda Nias akan mencoba untuk melompati batu dan jika mereka berhasil mereka akaan menjadi lelaki dewasa dan dapat bergabung sebagai prajurit untuk berperang dan menikah. Sejak usia 10 tahun, anak lelaki di Pulau Nias akan bersiap untuk melakukan giliran "fahombo" mereka. Sebagai ritual, fahombo dianggap sangat serius dalam adat Nias. Anak lelaki akan melompati batu tersebut untuk mendapat status kedewasaan mereka, dengan mengenakan busana pejuang Nias, menandakan bahwa mereka telah siap bertempur dan memikul tanggung jawab laki-laki dewasa.

       Batu yang harus dilompati dalam fahombo berbentuk seperti sebuah monumen piramida dengan permukaan atas datar. Tingginya tidak kurang dari 2 meter, dengan lebar 90 cm, dan panjang 60 cm. Pelompat tidak hanya harus melompati tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki teknik untuk mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah, dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang. Di masa lampau, di atas papan batu bahkan ditutupi dengan paku dan bambu runcing, yang menunjukkan betapa seriusnya ritual ini di mata Suku Nias. Secara taktis dalam peperangan, tradisi fahombo ini juga berarti melatih prajurit muda untuk tangkas dan gesit dalam melompati dinding pertahanan musuh mereka, dengan obor di satu tangan dan pedang di malam hari. Jadi secara tidak langsung tradisi Lompat Batu ini terlahir dari konflik perang yang terjadi antar kampung.


                                             Gambar 2 : Lompat Batu (Fahombo)

                            2.2.2.2         Tari Perang (Fataelae/Faluaya)

           Tari Perang (Fataelae/Faluaya) lahir berbarengan dengan tradisi Homo Batu , dalam menarikan tarian ini, penari mengenakan pakaian warna warni terdiri dari warna hitam, kuning dan merah, dilengkapi dengan mahkota di kepala. Layaknya kesatria dalam peperangan penari juga membawa Tameng, pedang dan tombak sebagai alat pertahanan dari serangan musuh. Tameng yang digunakan terbuat dari kayu bebentuk seperti daun pisang berada di tangan kiri yang berfungsi untuk menangkis serangan musuh. Sedangkan pedang atau tombak berada di tangan kanan berfungsi untuk melawan serangan musuh. Kedua senjata ini merupakan senjata utama yang digunakan kesatria nias untuk berperang.

        Ketika dipertunjukkan prosesi tarian ini dipimpin seorang komando layakya prosesi dalam perang yang dipimpin oleh seorang panglima. Kemudian dia akan mengomando penari untuk membentuk formasi berjajar panjang yang terdiri dari empat jajar. Posisi komando berada di depan menghadap kearah penari. Tarian kemudian dimulai dengan gerakan kaki maju mudur sambil dihentakkan ke tanah dan menerikkan kata-kata pembangkit semangat. Makna gerakan ini adalah kesiapan pasukan untuk maju ke medan perang dengan penuh semangat kepahlawanan. Kemudian diikuti dengan formasi melingkar yang bertujuan untuk mengepung musuh, setelah musuh terkepung para kesatria akan dengan mudah untuk melumpuhkan mereka.


                                        Gambar 3 : Tari Perang (Fataelae/Faluaya)

2.3        Hubungan Tipologi Bangunan dengan Filosofi Hidup Suku Tradisional Nias

            Setiap Omo Hada memiliki enam tiang utama yang menyangga seluruh bangunan. Empat tiang tampak di ruang tengah rumah, sedang dua tiang lagi tertutup oleh papan dinding kamar utama. Dua tiang di tengah rumah itu disebut simalambuo berupa kayu bulat yang menjulang dari dasar hingga ke puncak rumah. Dua tiang lagi adalah manaba berasal dari pohon berkayu keras dipahat empatsegi, demikian pula dua tiang yang berada di dalam kamar utama. Setiap tiang mempunyai lebar dan panjang tertentu satu dengan lainnya. Semakin lebar jarak antara tiang simalambuo dengan tiang manaba maka semakin berpengaruhlah si pemilik rumah.

            Rumah adat di Nias tidak memiliki jendela. Sekelilingnya hanya diberi teralis kayu tanpa dinding sehingga setiap orang di luar rumah dapat mengetahui siapa yang berada di dalamnya. Desain ini menandakan orang Nias bersikap terbuka, jadi siapapun di desa dapat mengetahui acara-acara di dalam rumah, terutama yang berkaitan dengan adat dan masalah masyarakat setempat. Pemilik rumah bersama ketua adat duduk di bangku memanjang di atas lantai yang lebih tinggi disebut sanuhe sambil bersandar ke kayu-kayu teralis, sedangkan yang lainnya duduk di lantai lebih rendah atau disebut sanari. Setiap acara adat akan berlangsung di dalam rumah, terlebih dulu seisi kampung diundang dengan membunyikan faritia (gong) yang tergantung di tengah rumah. Faritia di rumah adat Nias Selatan dilengkapi oleh fondrahi, yaitu tambur besar sebagaimana terlihat di Omo Sebua rumah besar untuk raja dan bangsawan.

            masyarakat Nias pada umumnya memiliki kesadaran akan adanya perubahan- perubahan dalam kehidupan baik itu menyangkut lingkungan alam, norma dan nilai sehinggadiperlukan seperangkat hukum yang juga adaktif. Konsep ini dimungkinkan berakar dari pemahaman strategi adaptasi yang dimiliki pada masa Mesolitik.
Keberadaan hukum yangdisertai dengan sangsi merupakan bentuk hukum yang cukup lengkap. Keberadaan organisasisosial yang berfungsi dalam kaitannya dengan pemerintahan dan adat sangat menunjangkeberlangsungan sebuah masyarakat yang teratur. Keberadan konsep tersebut dalam konteks pembabakan budaya Neolitik merupakan sesuatu yang sangat luar biasa.

             Kelebihan tersebutsemakin mantap dengan adanya upaya untuk selalu memperbaharui hukum tersebut.Sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat Nias sudah sejak lama tertata dalam hukumsehingga sudah sangat teratur hidupnya.Kesadaran akan potensi lingkungan yang berbeda dengan harapannya tidak menyurutkanuntuk tetap berkarya dan meneruskan budayanya, seperti halnya ketiadaan logam yangdisikapi dengan bahan kayu pada  fo’ere sebagai sarana prosesi religi merupakan aspek kearifan yang juga sangat penting untuk disebarluaskan.Berbagai kearifan yang ada pada masyarakat Nias merupakan modal sosial yang sangat penting untuk ditanamkan pada seluruh masyarakat terutama pada generasi muda. Kearifanyang diungkapkan tersebut di atas merupakan hasil dari adaptasi masyarakat Nias terhadaplingkungan, manusia dan kebudayaan, sehingga dapat dikatakan bahwa karakter darimasyarakat Nias adalah adaptif. Karakter yang adaptif tersebut juga merupakan bentuk  jatidiri masyarakat Nias. beberapa kearifan tersebut sangat mungkin dapat disebarluaskan pada masyarakat umum (di luar masyarakat Nias) mengingat memiliki nilai-nilai yang bersifat universal.


Gambar 4 : Rumah adat Omo Hada


Bab 3

 3.1          Kearifan Lokal dalam Bangunan

            Kondisi geografis Pulau Nias yang berada pada jalur patahan, sehingga menjadikan areal inisering mendapatkan gempa. Tampaknya kondisi pulau seperti itu disikapi dengan pembuatanarsitektur yang khas yang kiranya mampu memberikan ketahanan jika terjadi gempa. Selainitu juga arsitektur di Pulau Nias menggambarkan aspek sosial dan religi masyarakatnya.Sehingga arsitektur rumah tinggal pada masyarakat Nias merupakan penggambaran aspek lingkungan, manusia dan religinya. Adapun aspek yang mencirikan akan adanya kearifandalam menyikapi gempa diantaranya adalah keberadaan tiang-tiang penyangga yang disusununtuk menopang beban yang berat dicerminkan lewat ukuran tiang yang cukup besar danlewat persilangan-persilangan balok-balok yang dirancang vertikal, horisontal dan diagonal.

            Arsitektur dengan tiang penyangga seperti itu kiranya memberi arti positif bagi perkembangan arsitektur moderen dan juga dalam upaya mendapatkan pondasi rumah yang kokoh. Keberadaan rumah di Nias bagian selatan yang cenderung tingggi dan besar dibuat berhimpitan seperti sebuah gerbong kereta juga merupakan upaya untuk mendapatkankekuatan yang lebih dalam menghadapi goncangan. Selain itu rumah juga merupakan simbolyang menggambarkan adanya struktur dalam masyarakat dan juga dalam kosmologi. Sehingga rumah adat dalam masyarakat Nias juga berstruktur yang terkait dengan struktur sosial di masyarakat. Mengingat rumah adat itu juga menyimbolkan aspek religi (kosmologi) maka fungsi rumah juga digunakan dalam prosesi religi.


Gambar 5 : Arsitektur Rumah adat Suku Nias



Bab 4

4.1       Kesimpulan

           Rumah omo hada dan omo sebua merupakan rumah tradisional masyarakat nias yang berfungsi sebagai tempat berlindung atau benteng pertahanan karena konstruksi rumah yang unik akan menyulitkan musuh (baik binatang buas maupun musuh dari suku lain) menyerang sang pemilik rumah, dan juga sebagai tempat berkumpulnya masyarakat nias. Rumah tersebut juga memiliki peran penting sebagai status kasta sang pemilik, memiliki arsitektur tradisional yang dapat bertahan ratusan tahun dan dapat lulus dari uji ketahanan terhadap gempa bumi dahsyat. Rumah tersebut dibangun tanpa menggunakan paku atau logam apapun melainkan hanya mengunakan pasak kayu sebagai penghubung antar kayu, biasanya pada sebuah kampung atau desa di Nias terdapat sekitar 20-30 rumah Omo Hada dan 1 rumah Omo Sebua sebagai rumah kepala suku, Omo Hada ini adalah bangunan yang memiliki nilai-nilai tradisi dan budaya yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakat di Pulau Nias, bahkan bangunan ini termasuk bangunan yang sangat dijaga keberadaannya oleh masyarakat Nias Selatan.







DAFTAR PUSTAKA

http://www.wacananusantara.org/Nias-nilai-nilai-sosial-serta-budayanya/
Sumber Rujukan:
Morabito, Antonio.1994. Indonesia Archipelago of Wonders. Jakarta: PT. Prajnawati.
Soebadyo, Haryati, dkk. 2002. Indonesian Heritage: Arsitektur. Jakarta: Buku Antar Bangsa.
Esther Pormes Telaumbanua, (Ketua Yayasan Tatuhini Nias Bangkit.). www .suarapembaharuan.com.
(12/03/2015 (21. 16))